JENIS – JENIS SLB
Sistem
pembelajaran yang efektif di SLB-A
Sebelum
menjelaskan tentang sistem pembelajaran yang baik pada SLB-A, saya akan
memberikan penjelasan singkat mengenai orang-orang yang berada pada SLB-A,
yaitu tunanetra. Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan/ tidak berfungsinya indera penglihatan.
Tunanetra
terbagi atas 2, yaitu:
1.
Kebutaan Total : yaitu dimana indera
penglihata seseorang benar-benar sudah tidak dapat berfungsi lagi
2.
Low Vision : seseorang dikatakan Low
vision apabila orang tersebut mengalami kekurangan penglihatan.
Klasifikasi:
1.
Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:
a.
Tunanetra sebelum dan sejak lahir
b.
Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
c.
Tunenatra pada usia sekolah atau pada masa remaja
d.
Tunanetra pada usia dewasa
e.
Tunanetra dalam usia lajut.
2.
Berdasarkan kemampuan daya penglihatan:
a.
Tunanetra ringan
b.
Tunanetra setengah berat
c.
Tunanetra berat.
Media-media yang digunakan tunanetra:
- Papan baca (Kenop),
- Reglette dan Stilus (pena) yaitu alat tulis manual,
- Mesin tik Braille (Perkins Braille)
- Kaset
Media
Pembelajaran yang diterapkan pada anak-anak tunanetra di beberapa Sekolah Luar
Biasa (SLB) meliputi:
- alat bantu menulis huruf Braille (Reglette, Pen dan mesin ketik Braille);
- alat bantu membaca huruf Braille (Papan huruf dan Optacon);
- alat bantu berhitung (Cubaritma, Sempoa, Speech Calculator)
- alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder.
Sistem belajar
efektif
Untuk
mengetahui sistem belajar yang efektif bagi penyandang tunenetra, ada beberapa
prinsip yang harus kita ketahui terlebih dahulu. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:
1)
Prinsip Individual
Prinsip individual adalah
prinsip umum dalam pembelajaran manapun (SLB maupun pendidikan umum) guru
dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam
pendidikan tunanetra, perbedaan dari individu itu sendiri menjadi lebih luas
dan kompleks. Karena adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan
mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan
sejumlah perbedaan khusus yang berhubungan dengan ketunanetraannya (tingkat
ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak
sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa
perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta
total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru
untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak.
2)
Prinsip totalitas
Anak tunanetra kemungkinan
dapat memperoleh pengalaman objek secara utuh jika menggunakan semua pengalaman
alat inderanya yang masih berfungsi untuk memahami suatu konsep. Hal tersebut
disebut juga dengan multi sensory
approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara
menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung,
anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat
permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk
mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau
khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan
menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam
mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra
menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh
mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau
benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik
penggunaannya menjadi sangatlah penting.
3)
Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran
haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan
mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator
yang memudahkan siswa untuk belajar dan sekaligus sebagai motivator yang
membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa
strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami,
bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap
perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh
fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak,
tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna
mendapatkan isi pelajaran tersebut.
Strategi Sistem Belajar pada
SLB-A
- Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Siswa tidak hanya diajarkan tentang pembelajaran akademis, namun siswa harus diajarkan mengenai objek-objek yang ada disekitarnya dan diusahakan untuk menggunakan objek tersebut secara langsung
- Guru perlu merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak, karena terdapat perbedaan-perbedaan jelas dari masing-masing anak yang mengalami kebutaan, seperti penerimaan diri, ras, budaya, keluarga, serta tingkatan dari kebutaan itu sendiri juga dapat mempengaruhi bagaimana anak tersebut belajar. Guru disarankan untuk membedakan kelas bagi anak yang mengalami kebutaan total dan low vision; dan juga guru diharapkan mengerti mengenai perbedaan-perbedaan kognisi dari anak tersebut.
- Buatlah satu mata pelajaran, dimana siswa-siswa dapat menceritakan tentang dirinya dan diajarkan untuk terbuka dan menerima diri masing-masing bagi siswa tertentu atau dapat juga membuat sesi konseling bagi siswa yang membutuhkan hal tersebut.
- Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi karena seperti yang kita ketahui anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Anak penyandang tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Untuk memudahkan proses tersebut, dibutuhkannya media atau alat yang perlu dikembangkan untuk anak tunanetra agar dapat memahami dan merasakan suatu objek.
- Seperti yang dapat dilihat pada prinsip kedua, guru atau pembimbing bagi anak tunanetra disarankan untuk memberikan suatu kegiatan kegiatan yang bersifat outdoor, dimana anak-anak tunanetra dapat dikenalkan dengan objek-objek alam dengan menggunakan alat indera yang masih berfungsi.
- Berikan waktu atau kegiatan bagi anak/siswa tunanetra untuk mengembangkan potensinya masing-masing, seperti bernyanyi, memainkan musik, melukis, dan lain-lain.
B. SLB-B
Metode Pengajaran
Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama
individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui
pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara
tersebut.
1)
Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami
pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya.
Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir
(Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang
tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada
juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak
dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi
mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat
menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik
tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai
bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal
biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa,
dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca
bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada
cara ini (Ashman & Elkins,1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang
menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di
sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan
dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat
bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan
oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat
ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal
AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan
sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk
meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi
untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued
Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari
sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat
dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem)
maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan
cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya
yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2)
Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994)
mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat
memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang
telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat
yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis
alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal
(mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen
internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam
cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal
dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant
dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan
stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam
lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara
cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk
memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan
fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang
ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang
diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal
ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran
dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu
tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang
dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak
berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3)
Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu
tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat.
Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat
yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa
komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap
tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan
baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya
cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
C.
SLB-C
·
SLB bagian C adalah sekolah luar biasa
untuk Tunagrahita yaitu individu
yang memiliki intelegensi yang signifikan dibawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan
adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Pembelajaran untuk tuna grahita
ditujukan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.Klasifikasi tuna grahita
berdasarkan pada tingkatan IQ.
1.
Tunagrahitaringan
(IQ : 51-70),
2.
Tunagrahitasedang
(IQ : 36-51),
3.
Tunagrahitaberat
(IQ : 20-35),
4.
Tunagrahitasangatberat
(IQ dibawah 20).
·
Anak tuna grahita adalah yang
memiliki keterbelakangan mental dari anak normal pada umumnya. Di sekitar kita banyak
dijumpai anak tuna grahita atau anak terbelakang mental. Mereka biasanya menarik
diri dari pergaulan karena mereka sering dihina oleh teman dan lingkungannya sebagai
anak yang bodoh.
·
Asas pengajaran yang selama ini telah
diterapkan di sekolah luar biasa bagian C yaitu:
a.Asas Keperagaan
Karena anak tuna grahita sangat
lambat daya tangkapnya maka penggunaan alat bantu mengajar sangat bermanfaat.
Manfaat penggunaan alat peraga bagi anak tuna grahita yaitu untuk menarik minat
anak untuk belajar agar anak tidak cepat
bosan karena anak tuna grahita cepat sekali bosan dalam menerima pelajaran, mencegah verbalisme yaitu
anak hanyatahu kata-kata tanpa mengerti maksudnya anak tuna grahita sering menirukan
apa yang didengar atau dikatakan oleh temannya padahal mereka tidak tahu maksud
yang dikatakan tersebut, dengan alat peraga pengalaman anak akan diberikan secara
baik yaitu dari yang paling kongkret menuju ke hal yang kongkret akhirnya ke hal-hal
yang abstrak, anak akan mendapat pengertian yang mendalam. Untu kanak tuna
grahita penggunaan alat peraga ini lebih banyak karena berguna membantu proses
berpikir anak, meskipun pengertian materi-materi tersebut sangat sederhana.
b.Asas Kehidupan Konkret
Di dalam penerapan asas ini anak diperlihatkan dengan benda atau dengan situasi yang
sesungguhnya, kemudian dijelaskan pula penggunaan atau kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari.
Suatu contoh anak diajak kepasar, dikenalkan alat-alat atau kebutuhan makanan sehari-hari. Misal: panci, sendok, piring, garpu dan lain-lain beserta penggunaan atau bahan makan missal beras, sayuran, gula, dan sebagainya. Atau contoh lain anak dikenalkan alat-alat yang dipergunakan untuk membersihkan gigi, dijelaskan bagaimana cara menggunakan sekaligus diberi pengertian dengan menggosok gigi secara rutin dapat terjaga kesehatan giginya.
Suatu contoh anak diajak kepasar, dikenalkan alat-alat atau kebutuhan makanan sehari-hari. Misal: panci, sendok, piring, garpu dan lain-lain beserta penggunaan atau bahan makan missal beras, sayuran, gula, dan sebagainya. Atau contoh lain anak dikenalkan alat-alat yang dipergunakan untuk membersihkan gigi, dijelaskan bagaimana cara menggunakan sekaligus diberi pengertian dengan menggosok gigi secara rutin dapat terjaga kesehatan giginya.
c.Asas Sosialisasi
Bersosialisasi penting sekali bagi anak tuna
grahita. anak tuna grahita harus belajar mewujudkan dirinya sendiri dan diharapkan anak merasa bahwa dirinya punya pribadi yang ada persamaan dan perbedaan dengan pribadi yang lain. Dengan penerapan asas ini diharapkan anak terbelakang dapat menemukan tempat tertentu dalam masyarakat yang sesuai dengan kemampuannya dan dapat mengembangkan tingkah laku yang sesuai serta dapat diterima dalam masyarakat.
d.Asas Skala Perkembangan Mental
Mengingat bahwa anak tuna grahita mempunyai keterbelakangan dalam kemampuan berpikir,
akibatnya ada anak yang mempunyai umur kalender lebih banyak, sedang umur mentalnya dibawah umur kalendernya. Oleh sebab itu dalam pengajaran diterapkan asas skala perkembangan mental. Asas ini berhubungan dengan penempatan anak di dalam kelas-kelas. Pengajaran akan berhasil apabila di dalam suatu kelas perkembangan mental anak sama atau hamper sama, sehingga memudahkan dalam memberikan materi pelajaran. Meskipun demikian dalam menyampaikan pelajaran guru harus menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak.
e.Asas Individual
Maksud asas individual
yaitu pemberian bantuan atau bimbingan kepada seseorang sesuai dengan kemampuannya agar
dapat belajar dengan baik. Asas ini penting sekali bagi anak tuna grahita dikarenakan kemampuannya yang terbatas sehingga menghambat perkembangan kepribadian. Oleh karena itulah perlu pengajaran
individual. Karena selain kemampuan yang terbatas, anak tuna grahita cenderung terganggu emosinya/ emosi tidak stabil dimana hal ini merupakan penghambat, maka perlu pengajaran
individual guna mencari sebab dan cara mengurangi gangguan tersebut.
·
Implikasi pendidikan bagi anak tunagrahita:
1.
Terapi gerak
2.
Terapi bermain
3.
Kemampuan merawatdiri
4.
Keterampilan hidup
5.
Terapi bekerja
·
Pelayanan pendidikan yang diberikan:
1.
Kelas transisi
Merupakan kelas bagi anak tuna grahita yang berada di sekolah regular sebagai persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2.
Sekolah khusus (sekolah luar biasa bagian C dan C1)
Layanan pendidikan untuk anak tuna grahita yang diberikan pada sekolah luar biasa. Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari di kelas khusus, untuk anak tuna grahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tuna grahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3.
Pendidikan terpadu
Anak tuna grahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru regular pada sekolah reguler. Jika anak tuna grahita mempunyai kesulitan akan mendapat bimbingan dari guru pembimbing khusus dari SLB terdekat.
4.
Program sekolah dirumah
Program ini ditujukan bagi anak tuna grahita yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasan, misal: sakit.
5.
Program inklusif
Layanan pendidikan inklusi diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tuna grahita belajar bersama – sama dengan anak reguler,pada kelas dan guru/pembimbing yang sama.
6.
Panti (Griya) Rehabilitasi Panti ini ditujukan bagi anak tuna grahita berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan,pendengaran, atau motorik.
D. SLB-D
Sistem Pendidikan Bagi Anak Tunadaksa
Anak Tunadaksa (cacat tubuh) termasuk salah satu jenis anak
berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan atau kecacatan pada fisiknya, yaitu
pada sistem otot, tulang dan persendian akibat dari adanya penyakit,
kecelakaan, bawaan sejak lahir, dan atau kerusakan di otak.
Kelainan atau kecacatan yang disandang oleh seseorang memiliki
dampak langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder), baik terhadap diri anak
yang memiliki kecacatan itu sendiri maupun terhadap keluarga dan masyarakat.
Dampak langsung atau primer dari kecacatan tunadaksa adalah adanya gangguan mobilitas atau ambulasi, gangguan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Aktivity of Daily Living/ADL), gangguan dalam komunikasi, gangguan fungsi mental, dan gangguan sensoris. Sedangkan dampak tidak langsung atau dampak sekunder adalah reaksi penyandang kelainan tersebut (Franklin C.Schortz,1980). Artinya bagaimana anak menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh kecacatan yang disandang dalam kehidupannya. Semua dampak kecacatan tersebut akhirnya akan menimbulkan permasalahan. Karena itu, masalah tersebut perlu segera memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.
Dampak langsung atau primer dari kecacatan tunadaksa adalah adanya gangguan mobilitas atau ambulasi, gangguan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Aktivity of Daily Living/ADL), gangguan dalam komunikasi, gangguan fungsi mental, dan gangguan sensoris. Sedangkan dampak tidak langsung atau dampak sekunder adalah reaksi penyandang kelainan tersebut (Franklin C.Schortz,1980). Artinya bagaimana anak menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh kecacatan yang disandang dalam kehidupannya. Semua dampak kecacatan tersebut akhirnya akan menimbulkan permasalahan. Karena itu, masalah tersebut perlu segera memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.
Pada dasarnya kebutuhan anak Tunadaksa dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: kebutuhan untuk memperoleh pelayanan medik guna mengurangi
permasalahan yang dialami anak di bidang medis, kebutuhan untuk memperoleh
pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi sebagai
dampak dari adanya kecacatan tunadaksa, dan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan
khusus. Rehabilitasi pendidikan diwujudkan berupa Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bagian D (Tunadaksa).
Tujuan umum pendidikan di SLB-D adalah untuk mengembangkan
potensi siswa secara optimal dan tujuan khususnya agar siswa dapat mandiri
minimal dapat mengurus dirinya sendiri, menjadi lebih baik. Untuk mencapai
tujuan pendidikan tersebut di sekolah telah melaksanakan berbagai kegiatan
seperti pembelajaran, latihan, dan bimbingan baik pada siswa maupun pada orang
tuanya.
B.
PENDIDIKAN YANG IDEAL BAGI ANAK TUNADAKSA
Tujuan
pendidikan anak Tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan
dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan yang
berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Frances P. Connor (1995) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7
aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak Tunadaksa melalui
pendidikan, yaitu: (1) pengembangan intelektual dan akademik, (2) membantu
perkembangan fisik, (3) meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri
anak, (4) mematangkan aspek sosial, (5) mematangkan moral dan spiritual, (6)
meningkatkan ekspresi diri, dan (7) mempersiapkan masa depan anak.
Adapun prinsip dasar program pendidikannya meliputi:
Adapun prinsip dasar program pendidikannya meliputi:
1.Keseluruhan anak (All the children)
2.
Kenyataan (Reality)
3.
Program yang dinamis (A dynamic program)
4.
Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5.
Kerjasama (Cooperative)
Sedangkan
prinsip khusus pendidikannya terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip
individualisasi. Multisensori berarti banyak indera, maksudnya dalam proses
pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan
indera-indera yang ada dalam diri anak agar kesan pendidikan yang diterimanya
lebih baik. Prinsip individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri
individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka.
Model layanannya dapat berbentuk individual dan klasikal pada individu yang
cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, bahan pelajaran yang diberikan
pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Layanan pendidikan untuk
anak Tunadaksa dapat dilakukan dengan pendekatan guru kelas, guru mata
pelajaran/bidang studi, campuran dan pengajaran tim.
Pembelajaran
di sekolah idealnya sebagai berikut:
a.Perencanaan
kegiatan belajar mengajar: Program pendidikan yang diindividualisasikan
b. Prinsip Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip individualisasi
b. Prinsip Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip individualisasi
c.
Penataan Lingkungan Belajar.
Bangunan
gedung memprioritaskan tiga kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam
ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.
d.
Personil: guru PLB, guru regular, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis,
dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru BP, social worker,
fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic.
e.
Bimbingan Belajar Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis,
dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini
mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah memasuki
program sekolah dasar.
f.
Pembinaan Karier dan Pekerjaan
Untuk mempersiapkan masa depan anak,
di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang
hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas,
tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan
Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan
pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan
memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam
mempersiapkan kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi
selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun
vokasional.
Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan asesmen
karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional
yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa. Berkaitan
dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang
disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai
ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca
formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang
dalam pekerjaan, dll. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik
halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dll.
Alur
pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
Asesmen → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna
C. SISTEM PENDIDIKAN ATD DI RUANG SUMBER BELAJAR (RSB)
cara melakukan proses belajar mengajar di Ruang Sumber Belajar (RSB). Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa: RSB lebih dapat meningkatkan potensi anak secara optimal, karena di RSB terdapat banyak sumber dan alat-alat yang dapat membantu pemahaman anak dalam belajar. Disamping itu juga anak sambil latihan bergerak dengan berpindah antar RSB, anak tidak mudah bosan dan pengajaran yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.
1. Tujuan Belajar di RSB
Asesmen → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna
C. SISTEM PENDIDIKAN ATD DI RUANG SUMBER BELAJAR (RSB)
cara melakukan proses belajar mengajar di Ruang Sumber Belajar (RSB). Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa: RSB lebih dapat meningkatkan potensi anak secara optimal, karena di RSB terdapat banyak sumber dan alat-alat yang dapat membantu pemahaman anak dalam belajar. Disamping itu juga anak sambil latihan bergerak dengan berpindah antar RSB, anak tidak mudah bosan dan pengajaran yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.
1. Tujuan Belajar di RSB
Secara
umum bertujuan untuk mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin, dan secara
khusus agar anak Tunadaksa dapat mandiri baik dalam mengurus dirinya sendiri
maupun dapat menghidupi dirinya. Minimal menjadi lebih baik atau selangkah
lebih maju dari apa yang telah dimiliki anaK.
2. Proses Belajar di RSB
Langkah-langkah
belajar di RSB melalui prosedur sebagai berikut:ATD→PENGELOMPOKAN→ASSESMEN→PENYUSUNAN PROGRAM (IEP)→PELAKSANAAN PBM DI RSB→EVALUASI→FOLLOW UP. Berdasarkan
proses tersebut, maka RSB ditata sesuai dengan kurikulum yang digunakan, yaitu
meliputi:
a. Ruang assesmen
b. Ruang program umum yang terdiri dari semua bidang studi yang
diajarkan, yaitu: RSB Agama, RSB Bahasa, RSB Matematika, RSB IPA, RSB IPS, RSB
PPKN, RSB Kesenian, RSB Keterampilan, dan RSB Penjaskes.
c. Ruang program khusus yang terdiri dari: RSB Bina Diri, RSB Bina
Gerak, dan RSB Bina Bicara.
d. Ruang program muatan lokal yang terdiri dari: RSB Kesenian
Daerah
e. Ruang program pilihan yang terdiri dari: RSB Pertukangan,
menjahit, memasak, komputer,
fotograpi, dll.
3. Cara Belajar di RSB
Sebelum
belajar di RSB, ATD perlu diklasifikasikan sesuai dengan kriteria menjadi
kelompok akademik, kelompok keterampilan, kelompok pengembangan, dan kelompok
Autis. Kegiatan selanjutnya adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan assesmen per anak sebagai dasar penyusunan
program.
Adapun jenis asesmen yang dilakukan meliputi:
1) Pengumpulan data kemampuan dan ketidakmampuan fisik tentang:
kekuatan otot-otot, luas daerah gerak sendi (Range of Motion/ROM), kemampuan
motorik halus dan motorik kasar, dan kemampuan gerak dasar tubuh yang dilakukan
oleh Fisioterapist dan dokter ahli rehabilitasi.
2) Pengumpulan data kemampuan psikis tentang: tingkat
kecerdasan,
3) Pengumpulan data kemampuan akademik dan keterampilan dasar
tentang: calistung, bidang studi, dan aktivitas kehidupan sehari-hari (Aktivity
of Daily Living/ADL) dilakukan oleh
guru-guru.
4) Pengumpulan data kemampuan sosialnya, dilakukan oleh guru dan
sosial worker.
5) Pengumpulan data kemampuan keterampilan/vocasional dilakukan
oleh guru keterampilan.
b. Penyusunan Program
1) Program kelompok disusun sebagai berikut:
a) Kelompok akademik programnya sesuai kurikulum yang disesuaikan
dengan kemampuan nyata anak.
b) Kelompok keterampilan programnya: Calistung dan keterampilan
dasar sesuai dengan kemampuannya.
c) Kelompok pengembangan programnya: sosialisasi, bermain, dan
day care d) Kelompok autis, programnya individual
2) Program individual disusun berdasarkan kemampuan
masing-masing anak
c.Pelaksanaan Program Belajar di RSB
Proses belajar mengajar di RSB dilaksanakan per kelompok yang
kemampuannya sama atau hampir sama. Proses belajarnya bertitik tolak pada
kemampuan masing-masing anak dengan berprinsip pada individualisasi pengajaran.
d. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan baik pada saat proses belajar berlangsung
maupun setelah selesai (Evaluasi proses dan hasil).
e. Bimbingan Belajar
Bagi ATD yang mengalami kesulitan dalam belajar perlu diberikan
bimbingan baik secara individual maupun secara kelompok dengan remedial
teaching.
f. Pembinaan Karier dan Pekerjaan
Kegiatannya dimulai sejak melakukan asesmen kemampuan
keterampilan dasar oleh guru keterampilan dan psikolog untuk mengetahui
kemampuan dan minatnya. Selanjutnya disusun programnya sesuai dengan kondisi
kemampuan dan kecacatan anak. Pelaksanaannya diintegrasikan dalam proses
belajar mengajar. Bagi siswa pasca sekolah perlu pembinaan dan latihan-latihan
khusus untuk mempersiapkan pekerjaannya.
E.
SLB-E
Istilah tunalaras berasal
dari dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” berarti sesuai. Jadi anak
tunalaras berarti anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan lingkungan.
Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat didalam
masyarakat tempat ia berada.
Berangkat dari pemikiran di
atas, seseorang yang diidentifikasi mengalami gangguan atau kelainan perilaku
adalah individu yang; (1) tidak mampu mendefinisikan secara tepat kesehatan
mental dan perilaku yang normal, (2) tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya
sendiri, dan (3) mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi
Anak yang dikategorikan
memiliki kelainan emosi (emotional disturb) adalah anak yang mengalami
kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya
tekanan dari dalam (inner tension), akibat adanya hal-hal yang
bersifat neurotic atau psikotic. Indikasi anak berkelainan emosi
dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam bentuk kecemasan yang
mendalam (anxiety, neurotism) maupun perilaku psikose. Perilaku
anak penyandang kelainan emosi dalam konteks yang lebih besar mengalami
penyimpangan penyesuaian perilaku social.
Beberapa bentuk
kelainan perilaku atau ketunalarasan yang dikategorikan kesulitan penyesuaian
perilaku sosial (social maladjusted) dan kelainan emosi (emotional
disturb), dapat diuraikan sebagai berikut:
- Anak kesulitan penyesuaian sosial dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
- Anak kelainan emosi, ekspresi wujudnya ditampakkan dalam bentuk sebagai berikut:
- Kecemasan mendalam tetapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan yang dituju (anxiety neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan diri melalui represi.
- Kelemahan seluruh jasmani dan rohani yang disertai dengan berbagai keluhan sakit pada beberapa bagian badannya (astenica) yang sukar diselesaikan. Alat untuk mempertahankan diri dari kondisi ini melalui pnarikan diri dari pergaulan.
- Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya perlakuan yang kasar (hysterica konversia). Kondisi ini terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai balas dendam untuk kepuasan dirinya.
Layanan
Bagi Anak Tunalaras
- 1. Jenis jenis layanan
Dalam jenis-jenis
layanan dalam buku pengantar pendidikan luar biasa akan dikemukakan beberapa
hal, seperti berikut.
- a. Mengurangi atau menghilangkan kondisi yang tidak menguntungkan yang menimbulkan atau menambah adanya gangguan perilaku.
Adapun kondisi yang
tidak menguntungkan itu adalah sebagai berikut
1)
Lingkungan fisik yang tidak memadai seperti ukuran kelas yang kecil dan
sanitasi yang bruruk. Tidak jarang hal ini akan menjadikan anak merasa bosan
dan tidak betah berada disekolah.
2)
Disiplin sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan
sekolah yang member hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya pelanggaran
siswa. Keadaan ini akan membuat anak merasatidak puas terhadap sekolah
3)
Guru yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik. Akibatnya
murid sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jaman belajar,
kadang-kadang digunakan untuk merokok, tawuran, dan lain-lain.
4)
Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak. Akibatnya anak harus
mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupun hal itu tidak sesuai dengan
bakatnya. Demikian pula kurikulum yang berubah-ubah menjadikan anak merasa
jenuh, dan melelahkan.
5)
Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapat mengakibatkan
anak bosan dan merasa lelah.
Selanjutnya Kauffman
(1985) mengemukakan ada enam kondisi yang menyebabkan ketunalarasan dan
kegagalan belajar, yaitu:
1)
Guru yang tidak sensitive terhadap kepribadian anak
2)
Harapan guru yang tidak wajar
3)
Pengelolaan belajar yang tidak konsisten
4)
Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional
5)
Pola reinforcement yang keliru, misalnya diberikanpada saat anak berperilaku tidak wajar
6)
Model/contoh yang tidak baik dari guru dan dari teman sebaya. Kondisi-kondisi
yang tidak menguntungkan tersebut agar dihindari sehingga tidak terjadi
perkembangan anak kearah penyimpangan perilaku dan kegagalan akademiknya.
Lingkungan sekolah yang ditata dengan baik akan menyenangkan anak belajar dan
terhindar dari perasaan bosan, lelah, serta tingkah laku yang tidak wajar.
- b. Menentukan model-model dan teknik pendekatan
1)
Model pendekatan
Sehubungan dengan
model yang digunakan dalam memberikan layanan kepada anak tunalaras Kauffman
(1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai berikut.
- Model biogenetic
Model ini dipilih
berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh kecacatan genetic
atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada pengobatan, diet,
olahraga, operasi, atau mengubah lingkungannya
- Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai
asumsibahwa gangguan emosi merupakan indikasi ketidakmampuan menyesuaikan diri
yang terbentuk, bertahan, dan mungkin berkembang karena berinteraksi dengan
lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, penangannya tidak
hanya ditujukan kepada anak tetapi pada lingkungan tempat anak belajar dan
tinggal
- Model psikodinamika
Model ini berpandangan
bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi disebabkan oleh gangguan
atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kepribadian karena
berbagai factor sehingga kemampuan yang diharapkan sesuai dengan usianya
terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya konflik batin yang tidak teratasi.
Oelh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku itu dapat diadakan
pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam
mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.
- Model ekologis
Model ini menganggap
bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya disfungsi antara anak
dengan lingkungannya. Oleh kaena itu, model ini menghendaki dalam memperbaiki
problem perilaku agar menguoayakan interaksi yang baik antara anak tentang
lingkungannya, misalnya dengan mengubah persepsi orang dewasa tentang anak atau
memodifikasi persepsi anak dengan lingkungannya. Rhoden (1967) menyatakan bahwa
masalah perilaku adalah akibat interaksi destruktif antara anak dengan
lingkungannya (keluarga, teman sebaya, guru, dan sekelompok kebudayaannya)
2)
Teknik pendekatan
Beberapa teknik
pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku, di antaranya adalah
sebagai berikut:
- Perawatan dengan obat
Kavale dan Nye (1984)
mengemukakan bahwa obat-obatan dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan
perilaku, seperti adanya perbaikan perhatian, hasil belajar dan nilai tes yang
baik, serta anak hiperaktif menuju kearah perbaikan.
- Modifikasi perilaku
Salah satu teknik yang
banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial dan mengurangi perilaku
antisocial adalah penyesuaian perilaku melalui operant conditioning dan task
analysis (analisis tugas). Dengan operant conditioning kita mngendalikan
stimulus yang mengikuti respons. Pengondisian operant berdasarkan prinsip dasar
bahwa perilaku adalah suatu fungsi konsekuensi penerapan stimulus positif
segera setelah suatu respons merupakan hukuman.
Ada beberapa langkah
melakukan modifikasi perilaku, yaitu:
a)
Menjelaskan perilaku yang akan diubah
b)
Menyediakan bahan yang mengharuskan anak untuk duduk diam
c)
Mengatakan perilaku yang diterima.
Task
analysis dilaksanakan dengan cara menata tujuan dan
tugas dengan lengkap, membuat tugas dengan terperinci sehingga anak dapat
melakukannya, barulah anak mengerjakan tugas itu dalam jangka waktu tertentu,
mengadakan pujian bila anak berhasil.
a)
Strategi psikodinamika
Tujuan utama
pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan kebutuhannya,
keinginan, dan kekuatannya sendiri. Penganjur strategi ini menyarankan agar
dilakukan evaluasi diagnostic, perawatan, pengambilan keputusan, dan prosedur
psikiatrik. Mereka melihat bahwa perilaku maladaptive adalah pertanda konflik
jiwa. Mereka percaya bahwa penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan
penyebabnya hanya menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.
b)
Strategi ekologi
Pendukung teknik,
mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik maka perilaku
anak akan baik pula.
- c. Tempat layanan
Tempat layanan
pendidikan bagi anak yang mengalamigangguan perilaku adalah ditempatkan
disekolah khusus dan ada pula yang dimasukkan dalam kelas-kelas biasa yaitu
belajar bersama-sama dengan anak normal. Berikut ini akan dikemukakan
macam-macam tempat pendidikan anak tunalaras.
1)
Tempat khusus
Tempat ini dikenal
dengan Sekolah Luar Biasa Anak Tunalaras (SLB-E). sama halnya dengan sekolah
luar biasa yang lain, SLB-E memiliki kurikulum dan struktur pelaksanaannya yang
disesuaikan dengan keadaan anak tunalaras. Anak yang diterima pada lembaga
khusus ini biasanya anak yang mengalami gangguan perilaku yang sedang dan
berat. Maksudnya perilaku anak telah mengarah pada tindakan criminal dan
sangat mengganggu lingkungannya. Pelaksanaan pendidikan anak tunalaras dapat
and abaca pada pelaksanaan pendidikan anak luar biasa jenis lain karena
prinsipnya adalah sama.
2)
Tempat integrasi (terpadu)
Dari banyak jenis anak
tunalaras, ada 3 jenis, yaitu hyperactive, distraktibilitas, dan impulsitas
yang kemungkinan banyak dijumpai di sekolah biasa (umum), di mana mereka
belajar bersama-sama dengan anak normal. Oleh sebab itu, pada uraian berikut
akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan layanan terhadap anak-anak
tersebut.
- Hiperaktif
Berdasarkan
klasifikasi dan karakteristik yang dikemukakan oleh Quay (Hallahan &
Kauffman, 1986), hiperaktif termasuk dalamdimensi anak yang bertingkah laku
kacau. Cirri-ciri anak hiperaktif adalah sebgai berikut:
a)
Gerakkannya terlalu katif, tidak bertujuan, tak mau diam sepanjang hari, bahkan
waktu tidur ada yang melakukan gerakdiluar kesadaran
b)
Suka mengacau teman-teman sebayanya, dalam bertindak hanya menurutkan kata
hatinya sendiri dan mudah tersinggung
c)
Sulit memperhatikan dengan baik
Hiperaktif disebabkan
oleh banyak factor, seperti disfungsi otak, kekurangan oksigen, kecelakaan
fisik, keracunan serbuk timah, kekurangan giizi dan perawatan pada masa tumbuh
kembang, minuman keras dan obar-obatan terlarangselama kehamilan, kemiskinan,
dan lingkungan keluarga yang tidak sehat.
Berdasarkan
factor-faktor peyebab tersebut maka dapat diasumsiskan bebrapa cara/teknik
dalammengadakan layanan, antara lain medikasi/penggunaan obat, diet, modifikasi
tingkah laku, lingkungan ynag terstruktur, pengendalian diri, modeling.
Adapun pelaksanaan
dari teknik-teknik tersebut diadaptasikan dari Kauffman (1985), yaitu:
a)
Medikasi
Bagi anak hiperaktif,
medikasi sering dipakai adalah obat-obatan perangsang saraf terutama yang ada
kaitannya dengan penenangan
b)
Diet
Diet yang dianjurkan
adalah pantangan berbagai macam makanan termasuk makanan yang mengandung zat
pewarna atau penyedap rasa tiruan yang dapat menyebabkan hiperaktif. Juga
disarankan agar dihindari penggunaan obat kumur yang mengandung zat pewarna.
c)
Modifikasi tingkah laku
Semua perilaku
merupakan hasilbelajar atau diperoleh dari interaksi individu dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, perilaku juga dapat diubah dan dikendalikan
dengan mengukur pola interaksi antara individu dengan lingkungannya. Agar
penerapan teknik modifikasi tingkah laku berhasil perlu diperhatikan berbagai
prinsip antara lain : menentukan kapan harus member hadiah, kapan harus member
hukuman, serta jenis penguat apa yang pantas dipakai.
d)
Lingkungan yang terstruktur
Pada dasarnya,
pendekatan ini menekankan pengaturan lingkungan belajar anak sehingga tidak
menjadi penyebab munculnya perilaku hiperaktif, misalnya dengan mengurangi
objek/benda/warna/suara di kelas yang dapat mengganggu perhatian anak,
penjelasan secara terperinci jenis perilaku yang dapat/tidak dapat dilakukan
anak di kelas, pemberian konsekuensi(hadiah, hukuman) yang sangat konsisten,
dan system pembelajaran yang sangat terstruktur.
e)
Modeling
Perilaku yang
ditunjukkan anak sering merupakan akibat meniru atau mencontoh perilaku yang
diberikan oleh teman sekelas atau orang dewasa. Dengan asumsi ini, sistem meniru
(modeling) dapat dipakai untuk mengurangi perilaku hiperaktif. Prosedur yang
dipakai adalah dengan menyuruh anak normal di kelas untuk member contoh
perilaku yang baik.
f)
Biofeedback
Biofeedback merupakan teknik pengendalian perilaku atas proses biologis
internal dengan cara member informasi kepada anak mengenai kondisi perilaku dan
tubuhnya. Adapun pelaksanaannya, antara lain anak dilatih untuk mengendalikan
otot-ototnya dengan memantau sendiri tekanan ototnya.
- 2. Macam-macam layanan
Di dalam pelaksanaan
penyelenggaraannya kita mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan
anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
- Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
- Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
- Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
- Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
F. SLB-G
Pengertian dan Karakteristik Anak
Tunaganda
Yang disebut anak tunaganda
adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis kelainan atau
lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius ,sehingga dia
tidak hanya dapat diatas dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu
kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program pendidikan
sesuai kelainan yang dimiliki.
Anak tunaganda biasanya
menunjukkan fenomena-fenomena perlaku di antaranya:
1.Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
2. Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat.
1.Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
2. Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat.
3. Seringkali menunjukkan
perilaku yang aneh dan tidak bertujuan.
4. Kurang dalam keterampilan
menolong diri sendiri.
5.Jarang berperilaku dan
berinteraksi yang sifatnya konstruktif.
6.Kecenderungan lupa akan
keterampilan keterampilan yang sudah dikuasai.
7.Memiliki masalah dalam mengeneralisasikan keterampilan keterampialan dari suatu situasi ke situasi lainnya.
7.Memiliki masalah dalam mengeneralisasikan keterampilan keterampialan dari suatu situasi ke situasi lainnya.
Klasifikasi anak Tunaganda
Pada dasarnya ada beberapa
kombinasi kelaianan, di antaranya:
1. Kelainan utamanya
tunagrahita.
Gabungannya dapat
tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetrainilah yang dipandang paling
berat cara menanganinya.
2. Kelainan utamanya
tunarungu.
Gabungannya dapat
tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetra inilah yang dipandang paling
berat cara menanganinya.
3. kelainan utamanya
tunanetra.
Gabungannya dapat berwujud
tunalaras, tunarungu, dan kelainan yang
4. Kelainanan utamanya tunadaksa.
4. Kelainanan utamanya tunadaksa.
Gabungannya dapat berwujud
tunagrahita, tunanetra, tunarungu, gayaemosi, dan kelainan lain.
5. Kelainan utamanya
tunalaras. Gabungannya dapat berwujud austisme dan pendengaran.
6. Kombinasi kelainan lain.
6. Kombinasi kelainan lain.
Penyebab Anak tunaganda
disebabkan oleh faktor yang variatif, yang dapat terjadi pada saat sebelum
kelainan, saat kelahiran, dan atau setelah kelahiran.
1. Faktor Prenatal : ketidaknormalan kromosom
komplikasi-komplikasi pada anak dalam kandungan ketidakcocokan Rh infeksi pada
ibu, kekurangan gizi ibu yang sedang mengadung, serta terlalu banyak
menkonsumsi obat dan alcohol.
2. Faktor Natal : Kelahiran prematur kekurangan oksigen pada saat
kelahiran luka pada otak saat kelahiran.
2. Faktor Natal : Kelahiran prematur kekurangan oksigen pada saat
kelahiran luka pada otak saat kelahiran.
3. Faktor natal : Kepala mengalami kecelakaan
kendaraan ,jatuh ,dan mendapat pukulan atau siksaan
4. Nutrisi yang salah : Anak tidan dirawat dangan
baik, keracunan makanan atau penyakit tertentu yang sama, sehingga dapat berpengaruh
tehadap otak (meningitis atau encephalities).
Prevalensia Anak
Tunaganda mengingat belum ada defininsi yang dapat diterima secara umum
tentang anak tunaganda, maka tidak ada gambaran yang akurat tentang prevalensi
anak tunaganda. jika menggunakan analog di Amerika Serikat, maka jumlah anak
tunaganda berkisar sekitar 0,05% sampai dengan 0,1% dari populasi usia sebaya.
Berdasarkan asumsi bahwa jumlah anak tunaganda di Indonesia proporsinya sama
dengan yang di Amerika Serikat, maka jumlah anak anak usia sekolah di Indonesia
yang sekitar 60 juta orang, maka anak tunaganda Indonesia sekitar 99.000 anak
sampai 110.000 anak.
LAYANAN PENDIDIKANNNYA
Pada masa lalu,tunaganda
secara rutin dipisahkan dari sekolah regular,bahkan sekolah Khusus .Namun sejak
tahun 80-an layanan pendidikan bagi anak tunaganda semakin mendapat perhatian
di tengah-tengah masyarakat, dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus. Demikian
juga program-program pendidikan bagi anak tunaganda semakin dikembangkan untuk
anak usia sedini mungkin.setidak-tidaknya program pendidikan lebih
diorientasikan untuk meninmgkatkan kemandirian anak.untuk menjaga efekvitas
program pendidikan,maka program seharusnya mengakes empat bidang utama, yaitu
bidang domestik, rekreasional, ,kemasyarakatan, dan vokasional.Hasil asesmen
ini mungkinkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan yang lebih
fungsional.Sementara itu dengan pengajaran seharusnya mencakup,di antaranya: ekspresi
pilihan, komunikasi,pengembangan keterampilan fungsional,dan latihan keterampilan
sosial sesuai dengan usianya,menyadari akan kondisi obyektif anak anak
tunaganda,maka pendekatan multidipliner adalah penting.Oleh karena itu
orang-orang yang sesuai dalam mengatasi anak tunaganda,seperti terapis bicara
dan bahasa,terapis bicara dan bahasa,terapi fisik dan okupasional seharusnya
bekerjasama dengan guru-guru kelas,guru-guru khusus dan orangtua,karena
perlajuan yg lebih cocok untuk mengatasi anak-anak tunaganda berkenaan dengan
masalah ketererampilan adalah memberikan layanan yang terbaik daripada yang
diberikan ditempat terapi yang terpisah.Untuk dapat menjamin kemandirian
menjamin kemandirian anak tunaganda dalam proses pembelajaran perlu didukung
dengan penataan kelas yang sesuai,alat bantu dalam meningkatan keterampilan fungsionalnya. Integrasi dengan anak
seusia merupakan komponen lainnya yg penting.menghadirin sekolah regular dan
berpartisipasi dalam kegiatan yg sama dengan anak-anak normal adalah penting
untuk pengembangkan keterampilan sosial dan persahabatan,di samping dapat
mendorong adanya perubahan sikap yg lebih positif.
Thanks ya sob sudah berbagi ilmu .............................
BalasHapusbisnistiket.co.id